Halaman

Jumat, 18 Januari 2019

Kembali ke Drama Korea

Hai, semangat pagi !!!

Lama tak jumpa.

Apa kabar?




Well, sesuai judul tulisan hari ini, saya memang ingin mengatakan jika saya sepertinya telah benar-benar kembali jatuh hati pada drama Korea. Januari 2019 ini, saya sedang menonton dua drama Korea secara bergantian; satu ditayangkan di tivi, satu lagi saya tonton via YouTube.

Di tivi saya mengikuti drama Korea "Encounter" dan di Youtube tak terasa saya menikmati drama Korea "Fluttering Warning" hingga pukul 3 pagi. Cerita kedua drama tersebut hampir sama, hanya setting lokasi, karakter, dan tentu para pemainnya yang berbeda. Konsep dan inti ceritanya setipe: hubungan sepasang kekasih berbeda latar belakang dan "kasta", dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.


Saya ingat, sekitar akhir tahun 2015 hingga awal 2016, saya juga menonton beberapa drama Korea hampir setiap hari, padahal saat itu saya sedang mengerjakan skripsi. :D

DraKor yang paling saya ingat kala itu adalah draKor berjudul "Descendant of the Sun" atau lebih sering disingkat "DOTS". Saat itu, DOTS tayang secara langsung di televisi Korea, lalu ada seorang penyuka drakor yang mengunggah drama tersebut ke YouTube. Jadi, setiap hari saya menonton satu episode DOTS. Saya merasa sulit untuk meninggalkan drama tersebut seharipun karena pemilik akun YouTube itu akan menghapus episode sebelumnya jika episode selanjutnya telah tayang. Ia katakan dengan jelas bahwa ia tidak mendapat lisensi langsung dari pihak Korea, padahal drama Korea tersebut belum resmi dirilis di luar Korea. Seperti kita tahu, drama-drama atau film dari suatu negara biasanya akan ditayangkan terlebih dulu di negara asalnya. Selang beberapa hari, pekan, bulan, atau tahun biasanya baru film tersebut akan resmi ditayangkan di negara-negara lain. Jika melakukan penyebaran film dari suatu negara di saat film tersebut belum resmi ditayangkan di negara lain, well mungkin penyebar film tersebut bisa terkena sanksi pidana. Jadi waktu itu, rasanya saya seperti seorang peretas meski saya tidak melakukannya secara langsung, namun jelas saya turut menikmati tayangan sebelum akhirnya, beberapa bulan kemudian, Drama Korea "DOTS" ditayangkan di layar kaca Indonesia. Tentu dengan alih bahasa.






Inti tulisan saya kali ini, saya rasa, saya pikir, dan saya sadar, saya telah kembali tercandu drama Korea. Saya kembali fasih mengucap cukup banyak kata dalam bahasa Korea, saya mulai bersikap seperti karakter-karakter dalam drama Korea, dan saya juga mendapat segudang ide dan tentu sedikit imajinasi jika saya mengalami hal serupa dalam cerita itu. Tapi, sepertinya tak mungkin. Drama Korea terasa begitu mirip kisah negeri dongeng. Kenyataan hidup tak seindah drama Korea, benar kan?

Rabu, 05 Juli 2017

How We Teach Our Child(ren)?

How we teach our child(ren)?
Bagaimana kita mendidik anak(-anak) kita?


Mendidik anak tidak sama dengan membangun sekompi pasukan.
Mendidik anak adalah membentuk satu karakter untuk membangun suatu bangsa.
Jika perumpamaan itu terkesan terlalu tinggi, baiklah, saya akan menggunakan analogi yang lebih sederhana untuk menyampaikannya.

Mendidik anak tidak seperti melatih marinir untuk bertempur di medan perang. Berbicara kepada anak juga tidak sama seperti mengatur pasukan dalam suatu latihan upacara.

Saat kita mendidik anak, seyogyanya kita merasa bahwa kita bukan sekedar berbicara dan menanamkan suatu nilai-nilai pada anak. Bukan pula hanya menyampaikan suatu ilmu, materi, tugas, atau apapun namanya, melainkan berbicara dan bersikap pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, mendidik anak tidak bisa seenak udel kita sendiri.

Saat kita bersikap keras, berbicara dengan nada tinggi, dan menyuruh-nyuruh anak kita, apakah kita sendiri mau diperlakukan seperti itu? Oh, mungkin seperti itulah masa kecil kita. Namun, apa kita bahagia dan merasa baik-baik saja saat (mungkin) dulu kita mendapat perlakuan serupa dari orangtua kita? 100% tidak!

Mungkin kita telah mampu mengambil pelajaran dari semua hal yang kita hadapi di masa lalu, namun apakah kita yakin generasi masa kini bisa melakukan hal yang sama, terlebih usia mereka jelas lebih muda daripada kita? Apa kita perlu menunggu sepuluh hingga duapuluh tahun lagi agar mereka mengerti?

Mungkin dulu kita menganggap cara mendidik anak yang seperti itu adalah cara terbaik agar anak tidak nglunjak, tidak rewel, dan sebagainya. Tapi itu dulu, dulu, saat kita belum mengenal YouTube, saat kita masih bermain di tanah lapang, saat kita masih asing dengan gawai (gadget), saat kita bahkan begitu menikmati kesempatan memanjat pohon yang cukup besar dan tinggi.

Bagaimana dengan anak zaman sekarang? Apakah mereka masih bisa melakukan semua itu? Mungkin iya, mereka mampu, tapi sarana dan prasarananya nihil. Jadi, mereka bisa apa selain berurusan dengan gawai dan semua hal yang dapat diakses dari piranti itu?

Anak masa kini hanya mendapat kesempatan belajar dengan visual dan audio mereka. Kinetik, rasanya sulit dikembangkan, tapi mereka jauh lebih kreatif dalam hal teknologi. Di usia yang terbilang masih sangat dini, mereka bisa mengumumkan pada seisi dunia tentang kejadian yang mereka alami. Tak perlu bisa membaca atau menulis, dengan mengunggah video hasil rekaman mereka sendiri, mereka bisa melakukan semua hal yang mungkin bagi kita sangat mustahil dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak generasi sekarang bisa saja mengatakan pada dunia seluruh isi hati mereka. Mereka tak lagi merasa malu dan sungkan mengadu pada pemerintah sekalipun jika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain. Apakah kita masih berpikir bahwa mereka sama seperti kita di masa lalu?


Mendidik anak bukan hanya membentuk sebuah karakter, melainkan membangun fondasi. Jika kita ingin menyampaikan suatu hal, bukan lagi zamannya dengan nada tinggi dan volume keras. Generasi masa kini tak memahami hal itu sebagai sesuatu yang harus ditakuti, disegani, dan segera dilaksanakan. Mereka justru menganggap tindakan-tindakan seperti itu sebagai sebuah tantangan. Apa kita tidak bisa menyadari perbedaan itu?


Berapa lama kita telah hidup?

Berapa lama kita telah menghadapi anak-anak kita?

Berapa lama kita berinteraksi dengan mereka?

Tidakkah kita belajar dari semua itu?



Waktu yang telah kita lalui, akankah berlalu begitu saja?


#ThinkAgain #HowWeTeachOurChildren

Rabu, 15 Februari 2017

One Next Step To Reach My Dream

Saat kecil, aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis. Komik, cerpen, cerbung, cergam, komik tanpa kata-kata alias komik bisu, novelet, pernah kubuat kala itu. Aku menulis semuanya di atas lembaran kertas-kertas bekas. Terkadang, aku menggunakan sela-sela kosong yang ada di buku-buku tulis sekolahku yang telah lalu.

Setelah melalui begitu banyak hal, aku ingin kembali menulis --layaknya hal yang biasa kulakukan hampir setiap hari di masa lalu. Bisakah aku memulainya sekarang? Mampukah aku menghasilkan tulisan dan karya lain yang disukai oleh banyak orang --sama seperti dulu? Sanggupkah aku melalui hari-hari itu ataukah aku hanya akan kembali berputar ke masa-masa "kelam" yang kulalui saat aku tak rajin lagi menulis?

***

Dulu, waktu itu, aku rutin menulis selama lebih dari 10 tahun, tapi setelah itu, ada banyak kejadian buruk yang harus kulalui, dan jujur, aku merasa sangat stres menghadapi tekanan yang sebenarnya tidak terlalu berat, tapi memang cukup banyak dan sering terjadi.


***

Di masa yang kusebut "kelam" itu, aku yang semula pendiam, mulai berteriak-teriak meski tak pernah sekalipun aku mengumpat dan memaki-maki orang lain. Saat itu, aku menjadi semakin tak terkendali, terutama jika ada orang lain yang menghalangi keinginanku.

***

Jika aku kembali aktif menulis, akankah aku kembali "harus" melalui masa-masa "kelam" seperti dulu?



Aku tak pernah tahu, akan seperti apa hari-hari yang harus kulalui di masa depan. Namun satu hal yang kutahu, aku semestinya bisa belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu.

Semoga aku bisa menjalani masa-masa indah yang pernah kumimpikan di masa lalu.


aamiin...










Semangat dan salam "on-fire"!



Satu langkah menuju mimpiku menjadi seorang penulis didukung sepenuhnya oleh +Inspirator Academy+Brili Agung Zaky Pradika+Diah Sally, dan +Apriliah Rahma 








Minggu, 05 Februari 2017

Huan Zhu Ge Ge OST 当/Dang Video and Lyrics




Masih ingat serial ini?

Teman-teman yang lahir sebelum tahun 1990-an atau setidaknya lahir pada tahun 1990-an, mungkin ingat dan tahu serial kolosal Mandarin ini.

Yup, video ini adalah cuplikan adegan-adegan dalam serial "My Fair Princess" atau "Return of the Pearl Princess" atau "Returning Pearl" yang lebih dikenal di Indonesia dengan judul "Putri Huan Zhu".